Pada masa
sepuluh Khalifah pertama, puncak pencapaian kemajuan peradaban Islam terjadi
pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid (786-809 M). Harun Al-Rasyid adalah
figur khalifah shaleh ahli ibadah; senang bershadaqah; sangat mencintai ilmu
sekaligus mencintai para ‘ulama; senang dikritik serta sangat merindukan
nasihat terutama dari para ‘ulama. Pada masa pemerintahannya dilakukan sebuah
gerakan penerjemahan berbagai buku Yunani dengan menggaji para penerjemah dari
golongan Kristen dan penganut agama lainnya yang ahli. Ia juga banyak
mendirikan sekolah, yang salah satu karya besarnya adalah pembangunan Baitul
Hikmah, sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan
sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga
dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Harun Al-Rasyid
juga menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan bagi keperluan sosial.
Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya
sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman
keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara
terkuat yang tak tertandingi. Terjadinya perkembangan lembaga pendidikan pada
masa Harun Al Rasyid mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik
sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun
sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Pada masa
pemerintahan Abbasiyah pertama juga lahir para imam mazhab hukum yang empat
hidup Imam Abu Hanifah (700-767 M); Imam Malik (713-795 M); Imam Syafi’i
(767-820 M) dan Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M). Pencapaian kemajuan dunia
Islam pada bidang ilmu pengetahuan tersebut tidak terlepas dari adanya sikap
terbuka dari pemerintahan Islam pada saat itu terhadap berbagai budaya dari
bangsa-bangsa sebelumnya seperti Yunani, Persia, India dan yang lainnya.
Gerakan penterjemahan yang dilakukan sejak Khalifah Al-Mansur (745-775 M)
hingga Harun Al-Rasyid berimplikasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, farmasi,
biologi, fisika dan sejarah.
Menurut Demitri
Gutas proses penterjemahan di zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial,
politik dan intelektual. Ini berarti bahwa para pihak baik dari unsur
masyarakat, elit penguasa, pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini,
sehingga dampaknya secara kultural sangat besar. Gerakan penerjemahan pada zaman
itu kemudian diikuti oleh suatu periode kreativitas besar, karena generasi baru
para ilmuwan dan ahli pikir muslim yang terpelajar itu kemudian membangun
dengan ilmu pengetahuan yang diperolehnya untuk mengkontribusikannya dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Menurut
Marshall, proses pengislaman tradisi-tradisi itu telah berbuat lebih jauh dari
sekadar mengintegrasikan dan memperbaiki, hal itu telah menghasilkan energi
kreatif yang luar biasa. Menurutnya, periode kekhalifahan dalam sejarah Islam
merupakan periode pengembangan di bidang ilmu, pengetahuan dan kebudayaan,
dimana pada zaman itu telah melahirkan tokoh-tokoh besar di bidang filsafat dan
ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Farabi. Berbagai pusat
pendidikan tempat menuntut ilmu dengan perpustakaan-perpustakaan besar
bermunculan di Cordova, Palermo, Nisyapur, Kairo, Baghdad, Damaskus, dan
Bukhara, dimana pada saat yang sama telah mengungguli Eropa yang tenggelam
dalam kegelapan selama berabad-abad. Kehidupan kebudayaan dan politik baik dari
kalangan orang Islam maupun non-muslim pada zaman kekhilafahan dilakukan dalam
kerangka Islam dan bahasa Arab, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan agama dan
suku yang plural.
Pada saat itu
umat Islam telah berhasil melakukan sebuah akselerasi, jauh meninggalkan
peradaban yang ada pada saat itu. Hidupnya tradisi keilmuan, tradisi
intelektual melalui gerakan penerjamahan yang kemudian dilanjutkan dengan
gerakan penyelidikan yang didukung oleh kuatnya elaborasi dan spirit pencarian,
pengembangan ilmu pengetahuan yang berkembang secara pesat tersebut,
mengakibatkan terjadinya lompatan kemajuan di berbagai bidang keilmuan yang
telah melahirkan berbagai karya ilmiah yang luar biasa. Menurut Oliver Leaman
proses penterjemahan yang dilakukan ilmuwan muslim tidak hanya menterjemahkan
karya-karya Yunani secara ansich, tetapi juga mengkaji teks-teks itu, memberi
komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. Proses
asimilasi tersebut menurut Thomas Brown terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh.
Sains, filsafat dan kedoketeran Yunani diadapsi sehingga masuk kedalam
lingkungan pandangan hidup Islam. Proses ini menggambarkan betapa tingginya
tingkat kreativitas ilmuwan muslim sehingga dari proses tersebut telah
melahirkan pemikiran baru yang berbeda sama sekali dari pemikiran Yunani dan
bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani.
Pada masa-masa
permulaan perkembangan kekuasaan, Islam telah memberikan kontribusi kepada
dunia berupa tiga jenis alat penting yaitu paper (kertas), compass (kompas) and
gunpowder (mesiu). Penemuan alat cetak (movable types) di Tiongkok pada
penghujung abad ke-8 M dan penemuan alat cetak serupa di Barat pada pertengahan
abad 15 oleh Johann Gutenberg, menurut buku Historians’ History of the World,
akan tidak ada arti dan gunanya jika Bangsa Arab tidak menemukan lebih dahulu
cara-cara bagi pembuatan kertas.
Pencapaian
prestasi yang gemilang sebagai implikasi dari gerakan terjemahan yang dilakukan
pada zaman Daulat Abbasiah sangat jelas terlihat pada lahirnya para ilmuwan
muslim yang mashur dan berkaliber internasional seperti :
·
Al-Biruni (fisika, kedokteran);
·
Jabir bin Hayyan (Geber)
pada ilmu kimia;
·
Al-Khawarizmi (Algorism) pada ilmu matematika;
·
Al-Kindi (filsafat);
·
Al-Farazi, Al-Fargani,
·
Al-Bitruji (astronomi);
·
Abu Ali Al-Hasan bin Haythami pada bidang teknik dan optik;
·
Ibnu Sina (Avicenna) yang
dikenal dengan Bapak Ilmu Kedokteran Modern;
·
Ibnu Rusyd (Averroes)
pada bidang filsafat;
·
Ibnu Khaldun (sejarah,
sosiologi). Mereka telah meletakkan dasar pada berbagai bidang ilmu
pengetahuan.
Beberapa
ilmuwan muslim lainnya pada masa Daulat Abbasiyah yang karyanya diakui dunia
diantaranya:
• Al-Razi (guru Ibnu Sina), berkarya dibidang kimia dan
kedokteran, menghasilkan 224 judul buku, 140 buku tentang pengobatan, diterjemahkan
ke dalam Bahasa Latin. Bukunya yang paling masyhur adalah Al-Hawi Fi ‘Ilm At
Tadawi (30 jilid, berisi tentang jenis-jenis penyakit dan upaya
penyembuhannya). Buku-bukunya menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di
seluruh Eropa hingga abad 17. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan
antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku
mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibnu
Sina;
• Al-Battani (Al-Batenius), seorang astronom. Hasil perhitungannya tentang bumi mengelilingi pusat tata surya dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati akurat. Buku yang paling terkenal adalah Kitab Al Zij dalam bahasa latin: De Scienta Stellerum u De Numeris Stellerumet Motibus, dimana
terjemahan tertua dari karyanya masih ada di Vatikan;
• Al Ya’qubi, seorang ahli geografi, sejarawan dan pengembara. Buku tertua dalam sejarah ilmu geografi berjudul Al Buldan (891), yang diterbitkan kembali oleh Belanda dengan judul Ibn Waddih qui dicitur al-Ya’qubi historiae;
• Al Buzjani (Abul Wafa). Ia mengembangkan beberapa teori penting di bidang matematika (geometri dan trigonometri).
• Al-Battani (Al-Batenius), seorang astronom. Hasil perhitungannya tentang bumi mengelilingi pusat tata surya dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati akurat. Buku yang paling terkenal adalah Kitab Al Zij dalam bahasa latin: De Scienta Stellerum u De Numeris Stellerumet Motibus, dimana
terjemahan tertua dari karyanya masih ada di Vatikan;
• Al Ya’qubi, seorang ahli geografi, sejarawan dan pengembara. Buku tertua dalam sejarah ilmu geografi berjudul Al Buldan (891), yang diterbitkan kembali oleh Belanda dengan judul Ibn Waddih qui dicitur al-Ya’qubi historiae;
• Al Buzjani (Abul Wafa). Ia mengembangkan beberapa teori penting di bidang matematika (geometri dan trigonometri).
Sebelum Islam
datang, menurut Gustav Le Bon, Eropa berada dalam kondisi kegelapan, tak
satupun bidang ilmu yang maju bahkan lebih percaya pada tahayul. Sebuah kisah
menarik terjadi pada zaman Daulat Abbasiah saat kepemimpinan Harun Al-Rasyid,
tatkala beliau mengirimkan jam sebagai hadiah pada Charlemagne seorang penguasa
di Eropa. Penunjuk waktu yang setiap jamnya berbunyi itu oleh pihak Uskup dan
para Rahib disangka bahwa di dalam jam itu ada jinnya sehingga mereka merasa
ketakutan, karena dianggap sebagai benda sihir. Pada masa itu dan masa-masa
berikutnya, baik di belahan Timur Kristen maupun di belahan Barat Kristen masih
mempergunakan jam pasir sebagai penentuan waktu. Bagaimana kondisi kegelapan
Eropa pada zaman pertengahan (Abad 9 M) bukan hanya pada aspek mental-dimana
cenderung bersifat takhayul, demikian pula halnya dalam aspek fisik material.
Hal ini sebagaimana digambarkan oleh William Drapper:
“Pada zaman itu Ibu Kota pemerintahan Islam di Cordova merupakan
kota paling beradab di Eropa, 113.000 buah rumah, 21 kota satelit, 70
perpustakaan dan toko-toko buku, masjid-masjid dan istana yang banyak. Cordova
menjadi mashur di seluruh dunia, dimana jalan yang panjangnya bermil-mil dan
telah dikeraskan diterangi dengan lampu-lampu dari rumah-rumah di tepinya.
Sementara kondisi di London 7 abad sesudah itu (yakni abad 15 M), satu lampu
umumpun tidak ada. Di Paris berabad-abad sesudah zaman Cordova, orang yang
melangkahi ambang pintunya pada saat hujan, melangkah sampai mata kakinya ke
dalam lumpur”. Menurut Philip K. Hitti, jarak peradaban antara kaum muslimin di
bawah kepemimpinan Harun Al-Rasyid jauh melampaui peradaban yang ada pada
orang-orang Kristen pimpinan Charlemagne. Pertengahan abad 9 M peradaban Islam
telah meliputi seluruh Spanyol. Masuknya Islam ke Spanyol yaitu setelah Abdur
Rahman ad-Dakhil (756 M) berhasil membangun pemerintahan yang berpusat di Andalusia.
Melalui
Spanyol, Sicilia dan Perancis Selatan yang berada langsung di bawah
pemerintahan Islam, peradaban Islam memasuki Eropa. Bahasa Arab menjadi bahasa
internasional yang digunakan berbagai suku bangsa di berbagai negeri di dunia.
Baghdad di Timur dan Cordova di Barat, dua kota raksasa Islam menerangi dunia
dengan cahaya gilang-gemilang. Sekitar tahun 830 M, Alfonsi-Raja Asturia telah
mendatangkan dua sarjana Islam untuk mendidik ahli warisnya. Sekolah Tinggi
Kedokteran yang didirikan di Perancis (di Montpellier) dibina oleh beberapa
orang Mahaguru dari Andalusia. Keunggulan ilmiah kaum muslimin tersebar jauh
memasuki Eropa dan menarik kaum intelektual dan bangsawan Barat ke
negeri-negeri pusatnya. Diantara mereka terdapat Roger Bacon (Inggeris); Gerbert
d’Aurillac yang kemudian menjadi Paus Perancis pertama dengan gelar Sylvester
II, selama 3 tahun tinggal di Todelo mempelajari ilmu matematika, astronomi,
kimia dan ilmu lainnya dari para sarjana Islam.
Tidaklah
mengherankan, karena pada saat kekhilafahan Islam berkuasa saat itu Spanyol
menjadi pusat pembelajaran (centre of learning) bagi masyarakat Eropa dengan
adanya Universitas Cordova. Di Andalusia itulah mereka banyak menimba ilmu, dan
dari negeri tersebut muncul nama-nama ‘ulama besar seperti Imam Asy-Syathibi
pengarang kitab Al-Muwafaqat, sebuah kitab tentang Ushul Fiqh yang sangat
berpengaruh; Ibnu Hazm Al-Andalusi pengarang kitab Al-Fashl fi al-Milal wa
al-Ahwa’ wa an-Nihal, sebuah kitab tentang perbandingan sekte dan agama-agama
dunia, dimana bukti tersebut telah mengilhami penulis-penulis Barat untuk
melakukan hal yang sama.
Di Andalusia
(Spanyol bagian Selatan), berbagai universitasnya pada saat itu dipenuhi oleh
banyak mahasiswa Katolik dari Perancis, Inggeris, Jerman dan Italia. Pada masa
itu, para pemuda Kristen dari berbagai negara di Eropa dikirim
berbondong-bondong ke sejumlah perguruan tinggi di Andalusia guna menimba ilmu
pengetahuan dan teknologi dari para ilmuwan muslim. Adalah Gerard dari Cremona;
Campanus dari Navarra; Aberald dari Bath; Albert dan Daniel dari Morley yang
telah menimba ilmu demikian banyak dari para ilmuwan muslim, untuk kemudian
pulang dan menggunakannya secara efektif bagi penelitian dan pengembangan di
masing-masing bangsanya. Dari sini kemudian sebuah revolusi pemikiran dan
kebudayaan telah pecah dan menyebarluas ke seluruh masyarakat dan seluruh
benua. Para pemuda Kristen yang sebelumnya telah banyak belajar dari para
ilmuwan muslim, telah berhasil melakukan sebuah transformasi nilai-nilai yang
unggul dari peradaban Islam yang kemudian diimplementasikan pada peradaban
mereka (Barat) yang selanjutnya berimplikasi terhadap kemajuan diberbagai
bidang ilmu pengetahuan.
Semaraknya
pengembangan ilmu dan pengetahuan di dunia Islam diindikasikan dengan banyaknya
perpustakaan tersebar di kota-kota dan negeri-negeri Islam yang jumlahnya
sangat fantastis. Sejarah mencatat, perpustakaan di Cordova pada abad 10 Masehi
mempunyai 600.000 jilid buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Cairo mempunyai
2.000.000 jilid buku. Perpustakaan Al Hakim di Andalusia mempunyai berbagai
buku dalam 40 kamar yang setiap kamarnya berisi 18.000 jilid buku. Perpustakaan
Abudal Daulah di Shiros (Iran Selatan) buku-bukunya memenuhi 360 kamar.
Sementara ratusan tahun sesudahnya (abad 15 M), menurut catatan Catholik
Encyclopedia, perpustakaan Gereja Canterbury yang merupakan perpustakaan dunia
Barat yang paling kaya saat jumlah bukunya tidak melebihi 1.800 jilid buku.
Sejarah juga
mencatat bahwa Uskup Agung Raymond di Spanyol mendirikan Badan Penterjemah di
Todelo yang ditujukan guna menterjemahkan sebagian besar karangan
sarjana-sarjana Muslim tentang ilmu pasti, astronomi, kimia, kedokteran,
filsafat, dll, dimana waktu yang dibutuhkan untuk menterjemahkannya yaitu lebih
dari satu setengah abad (1135-1284 M). Dari pusat-pusat peradaban Islam yang
meliputi Baghdad, Damaskus, Cordova, Sevilla, Granada dan Istanbul, telah
memancarkan sinar gemerlap yang menerangi seluruh penjuru dunia terlebih
Cordova, Sevilla, Granada yang merupakan bagian dari kekuasaan Islam di Spanyol
telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap tumbuh dan berkembangnya
peradaban modern di dunia Barat.
Pada masa
Khilafah Utsmani, para ahli sejarah sepakat bahwa zaman Khalifah Sulaiman
Al-Qanuni (1520-1566 M) merupakan zaman kejayaan dan kebesaran yang pada
masanya telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains
dan politik. Pasca berakhirnya keluasaan Daulat Abbasiyah, kepemimpinan Islam
berlanjut dengan kepemimpinan Daulat Utsmaniyah. Daulat Utsmaniyah yang juga
dikenal dengan sebutan Kesultanan atau Kekaisaran Turki Ottoman, didirikan oleh
Bani Utsman, yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 s.d. 1923)
dipimpin oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi
beberapa negara kecil.
Kesultanan ini
menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak
kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi dengan
Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya. Pada abad ke-16 dan
ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan
angkatan lautnya yang kuat. Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara
perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad
20. Musuh-musuh Islam membutuhkan waktu selama satu abad untuk melepaskan
ikatan ideologi Islam dari tubuh umat Islam, yang pada akhirnya tanggal 3 Maret
1924 M yang bertepatan dengan tanggal 28 Rajab 1342 Hijriah, melalui Mustafa
Kemal Attaturk yang merupakan agen Inggris dan anggota Freemasonry (sebuah
organisasi Yahudi), membubarkan institusi Kekhilafahan Islam terakhir di Turki
dan menggantikannya dengan Republik Turki. Maka, sejak saat itu ideologi Islam
benar-benar terkubur ditandai dengan dihilangkannya institusi khilafah oleh
majelis nasional Turki dan diusirnya Khalifah terakhir.
KESIMPULAN
Kita
dapat menyimak, bahwa puncak pencapaian penguasaan sains dan teknologi pada
zaman kejayaan umat Islam masa lalu terkait erat dengan tegaknya sistem
kekhilafahan, dimana adanya sistem komando yang terintegrasi secara global yang
peranan secara politik sejalan dengan peranan agama. Kita juga mendapatkan
gambaran dalam sejarah bahwa sosok para pemimpin terdahulu yang shaleh selain
sebagai seorang negarawan yang handal dan mumpuni, juga sebagai seorang ‘ulama
wara’ yang takut pada Rabb-nya, mencintai ilmu serta mencintai rakyatnya. Pada
aspek ini kita bisa melihat adanya integrasi tiga pilar utama dalam pembentukan
peradaban Islam yaitu agama, politik dan ilmu pengetahuan terpadu dalam satu
kendali sistem kekhilafahan dibawah pimpinan seorang khalifah.
DARTAR PUSTAKA
Usman & Lubna. Menalar Jejak Histories
Pendidikan Islam. 2010.Yogyakarta: karuina kalam semesta
Dkk,Dra. Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam .
2011. Jakarta : Bumi Aksara
M.A.Dr. Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam.
2006. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar